Tuesday, February 12, 2013

"AKU BISA !"

Pernah dalam sebuah lomba renang saya menemui anak saya menangis karena gagal. Sebenarnya gagal dalam sebuah perlombaan bukan hal yang baru baginya, karena  mental sportifitasnya sudah terasah dengan baik. Namun kali itu ia menangis karena gagal melakukan yang terbaik.  Mengapa? Sebenanrya lomba itu bukan untuk perenang, tetapi penyelam. Dia gagal karena tidak bisa berenang dengan menggunakan snorkel.  Persiapannya tidak cukup dan ternyata peserta wajib menggunakannya.

Secara enteng, saya berkomentar,”Apa susahnya pakai snorkel, kan lebih enak, tidak perlu ambil nafas.” Namun setelah melihat bagaiamana yang seharusnya, barulah saya memahami kesulitannya. Anak-anak ini akan memakai snorkel-nya di atas saat start. Kemudian begitu mulai mereka melompat ke air secara otomatis pipa snorkel akan ikut terendam. Begitu mereka naik di permukaan, air di dalam pipa tersebut harus mereka semburkan terlebih dahulu supaya pipa kosong dan perenang atau tepatnya penyelam bisa leluasa berenang dengan bernafas melalui mulutnya. Itu satu kesulitan yang tak terbayangkan bagi saya yang sekedar “penonton” dan “komentator” di pinggir kolam.

Hal ini cukup menyentak diri saya, teringat bagaimana kita sebagai orangtua terkadang bersikap salah terhadap kesulitan belajar anak-anak. Di kelas Kumon, terkadang kita temui anak-anak yang kesulitan di level dasar yang mungkin bagi orang dewasa sesuatu yang sepele. Kita tidak bisa memahami kesulitannya, karena tidak berdiri pada posisi mereka. Begitu mudah bagi kita berkomentar ,”Apa susahnya?!”.  Dan sikap ini justru menjadikan mereka tidak termotivasi untuk mau berusaha lebih baik lagi.

Empati bisa timbul secara tulus, bila kita mau berdiri di tempat yang sama dengan anak-anak dan mengerti betul rasa sulitnya. Dengan demikian, kita dapat membantu mereka melewati kesuitannya. Pendampingan seperti ini akan jauh lebih berarti dibandingkan dengan sekedar komentar yang penuh kritikan.

Di kelas Kumon, pernah seorang siswa mengatakan, “Ibu, yang ini susah,” ketika ia mengerjakan hitungan pengurangan di level A. Saya tidak segera mengatakan bahwa sebenarnya itu mudah, tetapi hanya menjawab,”Oke, sekarang kerjakan saja soal yang menurutmu mudah. Begitu susah, nanti Ibu temani.” Ajaibnya, sampai selesai ia tidak menemui saya. Waktu akan pulang saya bertanya padanya,”Lho, mana tadi yang susah?” Dengan senyum siswa tersebut memnjawab,”Ternyata aku bisa.”

Saya yakin, sebenarnya siswa ini mampu menyelesaikan hitungan tersebut dengan baik. Namun ia merasa tenang ketika  saya sudah berjanji akan memenemaninya bila ia kesuitan. Rasa tenang ini membuatnya justru bisa melewatinya sendiri. Dan tentu saja hal ini memberikan sense of achievement baginya. Pelajaran berharga tentu saja. Saya ingin semua anak bisa mengalami dan merasakan kepuasan ini, rasa “aku bisa!”.

No comments:

Kumon Candraloka on Facebook

discuss with student

discuss with student

Class of Kumon Candraloka

Class of Kumon Candraloka